Pilkada 2024
Bahaya Politik Dinasti, Pengamat Undip: Jokowi Contoh Nyata yang Terstruktur dan Sistematis
Pengamat politik Undip, Wahid Abdulrahman, menyebut Presiden Jokowi menjadi contoh nyata yang terstruktur dan sistematis soal politik dinasti.
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG – Pengamat Politik Universitas Diponegoro (Undip) Wahid Abdulrahman menyebut, gelombang politik dinasti berpotensi semakin membesar pada Pilkada 2024.
Hal ini berkaca pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di Jateng, terdapat 15 Kepala Daerah yang lahir dari rahim politik dinasti.
Ia mengingatkan, semakin langgengnya politik dinasti bisa menjadi bencana politik bagi daerah tersebut.
Setidaknya, ada dua hal ketika politik dinasti bisa berpotensi menjadi bencana, pertama tidak ada checks and balances di level DPRD.
Kedua, sosok orang yang lahir dari rahim politik dinasti tidak punya cukup kompetensi soal pembangunan daerah.
"Politik dinasti gejalanya kian membesar pada pilkada 2024, tidak hanya di level pileg (pemilihan legislatif) namun juga di level eksekutif," ujarnya, Senin (22/7/2024).
Merujuk hasil kajian riset yang dikeluarkan Agus Riyanto, dkk dari Universitas Wahid Hasyim Semarang tentang “Praktik Dinasti Politik Pada Pilkada Serentak Jawa Tengah” (2020) menyebut ada 15 calon yang memiliki keterkaitan dengan politik dinasti.
Belasan sosok dari bagian dinasti politi di berbagai daerah itu meliputi, Umi Kulsum (Blora), Ristawati Purwaningsih (Wakil Bupati Kebumen), Sri Mulyani (Klaten), Zaini Makarim Supriyatno (Purbalingga).
Lalu, Dyah Hayuning Pratiwi (Purbalingga), Mochamad Hanies (Rembang), Bintang Narsasi (Kabupaten Semarang), Etik Suryani (Sukoharjo), Hevearita Gunaryati Rahayu (Kota Semarang), dan Gibran Rakabuming Raka (Solo).
Selanjutnya, Kusdinar Untung Yuni Sukowati (Sragen) Agung Mukti Wibowo (Pemalang), Achmad Afzan Arslan Djunaid (Kota Pekalongan), Balqis Diab (Kota Pekalongan), Aji Setiawan (Kota Magelang).
Masih dalam riset yang sama, maraknya praktik dinasti politik pada Pilkada Jateng 2020 tidak lepas dari tiga faktor.
Pertama, faktor kelembagaan terkait putusan MK No.33/PUU/XIII/2015 yang kemudian seakan-akan melegitimasi dinasti politik dalam pilkada di Indonesia.
Kedua, kaderisasi partai politik yang cenderung gagal dan sikap partai yang pragmatis. Ketiga, sikap permisif masyarakat terhadap praktik dinasti politik dalam pilkada yang berkontribusi terhadap kemenangan kandidat yang terindikasi dinasti politik.
Sementara, Wahid berpandangan politik dinasti tumbuh subur juga tak lepas dari politik elektoral di Indonesia yang butuh modal cukup besar sehingga orang-orang potensial yang tak punya modal kesulitan untuk berpartisipasi.
"Di saat bersamaan, ada patron yang menyiapkan keturunannya untuk menduduki posisi strategis," ungkapnya.
Partisipasi Pemilih Pilkada Blora Hanya 71,24 Persen, Lebih Rendah dari Target KPU |
![]() |
---|
Minoritas Ganda, Agustina Wilujeng Menang Pilwakot Semarang, Komnas HAM: Percontohan Indonesia |
![]() |
---|
Samani-Bellinda Klaim Kemenangan 52,7 Persen di Pilkada Kudus: Jati Lumbung Suara Terbesar |
![]() |
---|
Hampir Gagal Ikut Pilkada Papua Barat Daya, Paslon Arus Unggul Exit Poll di Wilayah Padat Pendduk |
![]() |
---|
Nyoblos di TPS 03 Kaliombo, Jadug: Masyarakat Jepara Sudah Cerdas Tentukan Pemimpin |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.