Polwan Bakar Suami

Polwan Pembakar Suami Ditahan di Tempat Khusus, Kriminolog: Terencana, Bisa Terancam Hukuman Mati

Kriminolog Undip, Budi Wicaksono, menyebut polwan pembakar suami hingga tewas bisa terancam hukuman mati, karena melakukan aksinya dengan terencana.

Istimewa
Ilustrasi anggota polisi wanita (Polwan). 

TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Briptu Fadhilatun Nikmah (FN), polisi wanita (polwan) yang membakar suaminya sendiri, Briptu Rian Dwi Wicaksono (RDW), hingga korban tewas, ditahan di tempat khusus (patsus).

Hal ini mengingat kondisi tersangka yang mempunyai tiga anak bawah lima tahun (balita), bahkan dua terakhir baru berusia 4 bulan dan merupakan anak kembar.

Meski mendapat perlakuan khusus karena mempunyai tiga balita, kriminoloUniversitas Diponegoro (Undip) Semarang, Budi Wicaksono, menilai kasus yang menjerat Briptu FN merupakan kasus berat.

Baca juga: Korban Kecanduan Judi Online, Jadi Pemicu Amarah Polwan hingga Bakar Suami di Aspol Mojokerto

Baca juga: Polwan Bakar Hidup-hidup Suami Sendiri Anggota Polri di Aspol Mojokerto, Marah Gaji ke-13 Ludes

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan Briptu FN hingga menyebabkan korban tewas, dilakukan secara terencana.

Terlebih, sambung Budi, sang oknum polwan itu sudah membeli bensin dan disimpan di lemari.

"Itu hukumannya bisa berat sekali. Bisa hukuman mati maupun seumur hidup. Jeratan Pasalnya 340 KUHP bukan 338 KUHP karena sudah direncanakan," kata Budi, Senin (10/6/2024).

Namun demikian, Budi mengatakan, penanganan kasus tersebut juga harus mempertimbangkan kondisi kejiwaaan polwan Briptu FN yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.

Ia mengaku, untuk memastikan kondisi kejiwaan Briptu FN memang bukan perkara mudah.

"Harus ada ratusan pertanyaan. Saya sendiri sudah pernah mengusut polisi," ujarnya.

Menurutnya, penyelidik juga harus memeriksa hubungan pasangan suami istri tersebut.

Hal ini untuk memastikan apakah hubungan keduanya harmonis atau tidak.

"Jadi harus dilihat apakah ada masalah rumah tangga dan sering cek cok. Jadi apakah ini akumulasi persoalan, lalu memuncak terus bakar suaminya," ujarnya.

Budi mengatakan, bila terbukti oknum polwan tersebut mengalami gangguan kejiwaan saat melakukan aksi kejinya, maka hal itu dapat menjadi hal meringankan.

"Karena saat dites dia sudah normal.  Untuk menentukan masalah kejiwaan, di luar negeri pun kesulitan," ucapnya.

Soroti soal judi online

Budi juga menyorot persoalan judi online atau judi slot yang menjadi pemicu polwan membakar sang suami.

Kata Budi, seharusnya jika memang korban yang merupakan anggota Polri selama ini ditengari kecanduan judi slot, maka seharusnya ditangkap dan diproses oleh Propam.

Dengan penegakan aturan demikian, maka seharusnya tragedi memilukan seperti ini tak terjadi.

"Meski judi, merokok, meminum minuman keras hak setiap manusia, tapi kalau polisi tidak bisa karena ada aturannya. Mau nikah dua kali aja tidak boleh apalagi judi," jelasnya

Budi mengatakan polisi yang melakukan judi seharusnya diberi sanksi, mulai dari peringatan hingga pemecatan.

Atasan seharusnya bertanggung jawab terhadap anggotanya.

"Polisi memberantas penyakit masyarakat masak ikut terbawa arus. Secara etika saja sudah tidak benar," tandasnya.

Nasib 3 anak polwan bakar suami 

DIlansir Tribun Jatim, Briptu FN, polwan yang membakar suaminya, diketahui mempunyai tiga anak dari korban.

Anak pertama berusia sekitar 2 tahun, sementara anak kedua dan ketiga berusia 4 bulan dan merupakan bayi kembar.

Selama sang ibu ditahan di tempat khusus, tiga anaknya diketahui turut ikut.

Hal itu diungkap oleh Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Dirmanto.

Dirmanto mengatakan bahwa Briptu FN, polwan yang membakar suaminya sendiri, Briptu RDW, ditahan di tempat khusus usai ditetapkan sebagai tersangka.

Briptu FN ditempatkan di Pusat Pelayanan Terpadu RS Bhayangkara Surabaya agar masih bisa memenuhi kewajibannya sebagai ibu tiga anak dengan memberikan air susu ibu (ASI).

Briptu FN masih bisa menyusui ketiga anaknya tersebut selama ditahan.

"Karena yang bersangkutan mengingat memiliki anak balita yang harus dirawat sehingga ada hal inklusif anak disitu sesuai aturan perundang-undangan,"

"Sehingga terhadap tersangka saat ini ditempatkan di pusat pelayanan terpadu RS Bhayangkara," ujarnya di depan Gedung Ditreskrimum Mapolda Jatim, Senin (10/6/2024).

Dirmanto juga mengungkap fakta terbaru dari kasus ini.

Yakni Briptu FN sempat melakukan upaya pertolongan kepada suaminya yang tak berdaya karena terbakar.

Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya bekas luka bakar di lengan dan jari tangan FN.

"Kemarin bahwa pasca kejadian tersangka ini berusaha sekuat tenaga untuk melakukan pertolongan terhadap korban,"

"Dimana tersangka ini juga mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuhnya.

Di tangan sebelah kanan maupun tangan sebelah kirinya luka-luka dan beberapa tubuhnya bagian depan luka-luka akibat terbakar juga,"

"Kemudian sudah dilakukan visum juga terkait hal ini," tambahnya.

Briptu FN, lanjut Dirmanto, juga akan diberikan pendampingan psikologis.

"Dia masih trauma mendalam. Sekarang sedang ditangani dan sedang difasilitasi untuk trauma healing oleh Polda Jatim, kemudian juga kita melibatkan psikiater untuk menangani kasus ini," katanya.

Pendampingan psikologis juga akan diberikan kepada tiga anak FN.

WCC Jember minta Polri lebih sensitif tangani kasus

Woman Crisis Center (WCC) Jombang mendesak POLRI agar memberikan hak dan perlindungan anak sepenuhnya, terkait kasus KDRT yang melibatkan Pasutri anggota Polisi di Mojokerto.

Dalam kasus ini, Polwan Briptu FN alias Fadhilatun Nikmah (28) ditetapkan sebagai tersangka, diduga melakukan KDRT yang menyebabkan suaminya Briptu Rian Dwi Wicaksono meninggal akibat luka bakar 96 persen.

Terlebih, Briptu FN anggota polisi Polres Mojokerto Kota memiliki tiga orang anak, yang pertama berusia 2 tahun dan balita berusia empat bulan.

Direktur Eksekutif Woman Crisis Center (WCC), Ana Abdillah, menyatakan pihaknya mendukung langkah Polda Jatim, yang memberikan hak dan perlindungan anak dengan penangguhan penahanan terhadap tersangka Briptu FN.

"Kalau dalam kondisi memberikan ASI bisa saja penangguhan penahanan. Kondisinya masih memberikan ASI, karena itu hak anak."

"Dan hak anak mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Jangan kemudian ibunya menjadi tersangka, kemudian merenggut hak anak apalagi kondisinya masih balita," jelasnya kepada Tribun Jatim Network, Senin (10/6/2024).

Ia menegaskan penangguhan penahanan ini dapat memberikan hak dan perlindungan anak untuk memperoleh kasih sayang dari seorang ibu.

"Sangat setuju, dengan tidak ditahannya di ibu artinya kepolisian itu sensitif juga dalam pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Karena disatu sisi dia tersangka, tetapi juga sebagai korban lho. Memastikan pemulihan psikologis," bebernya.

Penangguhan penahanan terhadap tersangka Briptu FN terlepas dari statusnya sebagai anggota Polri.

"Tidak, tapi ini diletakkan pada kerangka hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia. Dan ini juga hak anak," ucap Ana Abdillah.

Menurut dia, sistem peradilan pidana terkait KDRT mulai dari pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan hingga nanti putusan juga harus dipastikan bahwa potensi diskriminatif terutama dalam merespon permasalahannya.

"Memastikan bahwa mekanisme peradilan itu betul-betul berorientasi untuk kepentingan terbaik bagi si anak. Karena kedepan dia punya masa depan masih lama, dan yang merawat adalah ibunya," cetusnya.

Dikatakan Ana, pihaknya telah berkoordinasi dan siap memberikan bantuan hukum secara gratis sampai persidangan hingga putusan.

"Kasus ini kan diambil alih Polda Jatim, kita siap memberikan bantuan hukum gratis. Yang jelas bahwa kita mendukung pemulihan psikologis si istri dan juga anak-anaknya."

"Artinya, apapun kondisi dan situasinya kami sadari betul bahwa dia sebagai kapasitas tersangka di sini juga korban," ungkapnya.

Ditambahkannya, pihaknya menduga kasus KDRT yang merenggut korban meninggal tidak hanya dari faktor ekonomi, namun ada juga faktor lain seperti ketidakterbukaan, rasa tidak menghargai, komunikasi dan lainnya.

"Harus dipastikan juga pembuktian apakah ada situasi darurat, atau alasan pembenar atau pemaaf kan harus nanti dibuktikan di persidangan. Karena saya yakin, tidak serta merta orang itu melakukan tindak pidana. Peristiwa yang terjadi pasti ada riwayat-riwayat yang melatarbelakangi," pungkasnya. (*)

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved