Berita Nasional

Pakar Hukum Tata Negara UGM: MK Jangan Jadi Alat Meloloskan Hasrat Satu Keluarga Tertentu

Pakar hukum tata negara UGM Zainal Arifin Mochtar peringatkan MK jangan dijadikan alat untuk meloloskan hasrat satu keluarga tertentu untuk berkuasa.

|
Warta Kota
Personel Polri berjaga di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) - Pakar hukum tata negara UGM Zainal Arifin Mochtar peringatkan MK jangan dijadikan alat untuk meloloskan hasrat satu keluarga tertentu, terkait gugatan batas minimal usia capres-cawapres. 

Mahfud peringatkan hakim MK soal rambu-rambu

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. (Tribunnews.com/Gita Irawan)

Terpisah, ahli Hukum Tata Negara yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menko Polhukam) Mahfud MD angkat bicara mengenai wacana pembatasan usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres - cawapres). Mahfud menegaskan, putusan MK soal batas usia capres - cawapres tak boleh diintervensi.

Saat ini, aturan mengenai batas minimal usia capre - cawapres sedang digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi.

Mahfud yakin, hakim Mahakamah Konstitusi akan bersikap profesional dalam memutus uji materi aturan ini.

Kata Mahfud, tugas MK sebatas membatalkan aturan yang melanggar konstitusi. Dituturkan, selama aturan itu tidak melanggar konstitusi, maka MK tak boleh membatalkannya.

Ihwal adanya batasan usia capres - cawapres dalam UU Pemilu, menurut Mahfud itu tak melanggar konstitusi.

"Misalnya, kalau usia (capres - cawapres) itu, berapa sih yang tidak melanggar konstitusi? Apakah 40 (tahun) melanggar, apakah 25 (tahun) melanggar, apakah 70 (tahun) melanggar? Nah, itu kalau tidak ada pengaturannya bahwa konstitusi tidak melarang atau menyuruh, berarti itu tidak melanggar konstitusi," terangnya, di sela kunjungan ke Ponpes Alfalah di Desa Karangharjo, Kecamatan Silo, Jember, Minggu (24/9/2023).

Ditegaskan, kewenangan MK adalah membatalkan aturan atau perundangan yang dinilai melanggar konstitusi.

Menurutnya, itu merupakan standar ilmiah kewenangan MK di seluruh dunia, sejak lembaga ini kali pertama dibentuk di Wina, Austria pada 1920.

Karenanya, ditegaskan jika aturan perundangan itu tak melanggar konstitusi, maka MK tak boleh membatalkan.

Lalu, jika aturan itu ingin diubah bagaimana? Mahfud tegas menjawab itu bukan ranah MK, melainkan DPR RI.

"Kalau mau diubah gimana? Bukan MK yang mengubah. Yang mengubah itu DPR, lembaga legislatif. Nah, MK sudah tahu itu," tegas pejabat asal Madura itu.

"Dan selama ini kalau menyangkut open legal policy, atau politik hukum yang sifatnya terbuka, itu MK bukan menolak gugatan, tetapi tidak menerima. Tidak menerima dan menolak itu beda," sambung Mahfud.

Diterangkan, kalau menolak itu artinya permohonan ditolak. Sementara, bila tidak menerima, artinya dikembalikan untuk diproses melalui lain atau proses baru.

"Oleh sebab itu, yang terpenting ada dua. Satu kita serahkan masalah itu kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan," paprnya.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved