Berita Pati

Olah Bonggol Jagung Jadi Aneka Kerajinan Tangan, Saras Kini Petik Hasil Perjuangannya

Saras menumbuhkan semangat untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Keterbatasan fisik tak menjadi halangan bagi dirinya untuk lebih maju.

Penulis: Mazka Hauzan Naufal | Editor: Moch Anhar
TRIBUNMURIA.COM/MAZKA HAUZAN NAUFAL
Saswati Ningrum, akrab disapa Saras, menunjukkan produk kerajinan tangan berbahan tongkol jagung dalam Festival Ngopi Gedhen Rumah BUMN Rembang, 25 Agustus 2022 lalu. 

TRIBUNMURIA.COM, PATI - Bagi Saras (41), istilah "memandang sebelah mata" masih terlalu bagus untuk menggambarkan sikap orang terhadap dirinya pada waktu dahulu. 

Perempuan bernama lengkap Saswati Ningrum ini mengatakan, sebagai tunadaksa yang hidup di tengah masyarakat yang belum berkesadaran inklusif terhadap difabel, ia kerap mendapat anggapan merendahkan dan perlakuan diskriminatif ketika masih muda dulu.

Saras ialah warga Desa Sendangmulyo, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. 

Dia merupakan penyandang disabilitas.

Dia mengalami keterbatasan fisik akibat penyakit polio yang menjangkitinya saat masih berusia tiga tahun. 

Menurut Saras, karena kondisinya ini, jangankan memandang sebelah mata, melihat sekilas padanya saja dulu orang tak sudi.

"Kalau saya gambarkan dengan kata-kata yang agak kasar, sepertinya orang lebih memilih melihat kotoran daripada melihat saya," kata Saras saat dihubungi penulis artikel ini via sambungan telepon, Rabu (21/12/2022).

Dia mengenang, saat masih muda dulu, pernah ada seorang pria yang menaruh hati padanya.

Namun, ibu pria tersebut tak merestui.

Baca juga: Cek Kelayakan Jalan Bus, Dishub Salatiga Gelar Ramp Check di Terminal

Justru kata-kata setajam belati yang terlontar.

"Ibunya bilang, 'kowe nek karo wong iku arep mangan opo? Anake Warti iku ora iso ngasu.' (Kamu kalau sama dia mau makan apa? Anaknya Warti itu tidak bisa menimba air). Intinya saya dianggap hanya akan menjadi beban, tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga," ujar Saras mengenang.

Ia menuturkan, kata-kata itu terngiang-ngiang di kepala.

Namun, gejolak di hati ia kendalikan agar tak muncul rasa dendam. Ia justru bertekad untuk membalikkan anggapan orang padanya.

"Akhirnya, atas izin Gusti Allah, sekarang orang mau memandang saya dengan dua mata. Dulu orang bilang saya beban. Bagimu kalau saya memanggilmu, aku akan minta tolong dan memberimu beban. Sekarang kamu yang memanggilku untuk meminta bantuan," ucap perempuan kelahiran 18 Agustus 1981 ini.

Kini, Saras aktif menggeluti usaha kerajinan tangan berbahan baku tongkol atau sebutan lainnya bonggol ataupun janggel jagung. 

Dalam aktivitas ini, ia mengajak serta kaum difabel dan dhuafa agar berdaya. 

Kisah hidupnya menginspirasi banyak orang.

Ia juga telah menorehkan berbagai prestasi, di antaranya Komunitas Ibu Cerdas Indonesia (KICI) Award 2017, Nominee Asia-Pasific Women Empowerment Principles (WEPs) Award 2021, dan kandidat BeritaSatu Inspiring Women 2022.

Kisah Berdirinya Janggel Jaya Craft (J2C) Rembang

Merasa tidak diperlakukan secara layak di kampung halaman, Saras memutuskan merantau pada 1997.

Saat itu ia belum lama lulus SMP. Saras mengisahkan, ia malang-melintang menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta, Surabaya, dan Semarang. 

Dalam perjalanan hidup selanjutnya, ia belajar keterampilan menjahit.

Kemudian bertolak ke Bali dan Yogyakarta untuk mencoba peruntungan di bisnis menjahit.

“Waktu di Jogja, sebetulnya hidup saya sudah lumayan nyaman. Bagi saya, pada waktu itu, awal 2000-an, Yogyakarta dan Surakarta adalah kota terinklusif, paling ramah difabel,” ujar Saras.

Saras akhirnya mengontrak satu kamar di Yogyakarta untuk menjalankan usaha jasa jahit.

Namun, singkat cerita, Saras menikah dan pada 2007 dikaruniai seorang putri yang ia namai Marlen Kharisma.

“Oleh Allah, dengan rangkaian peristiwa yang panjang, akhirnya saya pulang ke Rembang. Membesarkan anak di kampung halaman. Pada 2007 itu saya pulang ke Rembang, memulai lagi usaha menjahit dari nol,” tutur Saras

Dengan membawa pengalaman dan menyaksikan sendiri bagaimana perkembangan komunitas disabilitas di Yogyakarta, Saras lalu bertekad memberdayakan sesama disabilitas di Rembang.

Ia bergiat di Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Rembang dan kini dipercaya sebagai Wakil Ketua.

Ia juga aktif di Layanan Inklusi Disabilitas (LIDi) Jawa Tengah.

Saras juga bergiat di banyak organisasi dan komunitas nondisabilitas, di antaranya Pemuda Pancasila. Ia bahkan saat ini dipercaya sebagai Ketua Desa Tangguh Bencana (Destana) Desa Sendangmulyo, Kecamatan Bulu.

Karena aktif berjejaring di berbagai organisasi, kesempatan-kesempatan emas pun datang menghampiri. 

Pada 2019, bersamaan dengan adanya program dari Tim Pelaksana Inovasi Desa (TPID) Kecamatan Bulu, saat itu Saras mengusulkan inovasi pemanfaatan limbah tongkol jagung. 

Hal ini didasari oleh melimpahnya limbah tongkol jagung setiap musim panen di desanya. Biasanya usai jagung diselep, tongkolnya hanya dibuang begitu saja atau dimanfaatkan sebagai bahan bakar rumah tangga.

Usulan itu pun diterima. Selanjutnya, dengan dukungan pihak desa, PKK, dan Karang Taruna, Saras mengolah limbah tongkol jagung menjadi aneka kerajinan tangan.

Di antaranya vas bunga, bros, cincin, kap lampu, dan kotak tisu.

Hasil karya Saras dan kawan-kawan itu kali pertama dipamerkan dalam ajang Bursa Inovasi Desa Cluster Rembang Barat di halaman Gedung Haji Kabupaten Rembang, Selasa (27/8/2019) lalu.

Produk-produk suvenir dari tongkol jagung tersebut saat itu dipamerkan dan dibanderol dengan harga mulai Rp10 ribu hingga Rp150 ribu.

Pameran tersebut dihadiri oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen.

Wagub asal Sarang, Rembang, ini tak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap hasil kreasi Saras dan kawan-kawan.

“Bonggol jagung bisa dibuat aneka kreasi, mulai dari lentera sampai kotak tisu. Kita dorong dan apresiasi hal ini. Apalagi melibatkan teman-teman disabilitas,” kata Taj Yasin ketika itu.

Hingga kini, jelas Saras, pembuatan kerajinan tongkol jagung masih berlanjut dengan melibatkan tenaga perempuan dan difabel.

Namun demikian, ia menyadari mengembangkan usaha tidaklah mudah.

“Sekarang saya dalam fase yang penting jalan, walaupun pelan-pelan. Karena memang terkendala peralatan yang kurang memadai. Sebab kerajinan ini memang membutuhkan banyak alat. Tidak seperti usaha jahit yang bisa jalan hanya dengan satu mesin jahit dan obras, kerajinan janggel jagung butuh banyak alat. Ada gerinda, gergaji, amplas, penyemprot (anti rayap), dan lain-lain,” kata dia.

Baca juga: Libur Akhir Tahun Tiba, Pemkab Semarang Minta Pengelola Wisata Perketat Protokol Kesehatan

Saat ini, lanjut Saras, pihaknya bekerja sama dengan tenaga pengrajin di Sarang untuk proses produksi. Ia menyebut, ada sekira lima orang yang aktif terlibat hingga kini. Di dalamnya ada seorang penyandang disabilitas juga.

Kini ia lebih banyak memproduksi kap lampu berbagai bentuk, kotak tisu, cermin berbingkai, dan miniatur gazebo. Produk-produk tersebut ia jual dengan kisaran harga Rp100 ribu sampai Rp200 ribu.

Ia juga membuat produk sendok tongkol jagung yang dibanderol antara Rp10 ribu sampai Rp20 ribu.

“Kalau penjualannya masih terbatas. Paling saya bawa-bawa saat bepergian ke luar kota. Saya ini kan sering diminta mengisi pelatihan kerajinan dan seminar tentang kedisabilitasan ke luar kota. Pada momen itu biasanya saya bawa produk untuk dijual sekalian. Kemudian juga di pameran-pameran,” ujar Saras.

Selain itu, produk-produk Saras yang dilabeli merek Janggel Jaya Craft (J2C) juga dijual di Rumah BUMN (RB) Rembang. Tempat ini merupakan co-working space dan galeri UMKM yang didirikan oleh PT Semen Indonesia (Semen Gresik). Produk-produk tongkol jagung kreasi Saras juga ikut dipamerkan dan dipasarkan di sana.

Aktif Jadi Pembicara dan Mengenyam Bangku Kuliah

Karena jejaringnya yang bagus di kalangan birokrat pemerintah daerah maupun kalangan swasta, Saras saat ini aktif mengisi pelatihan di berbagai tempat.

Ia bahkan juga pernah terlibat di program kegiatan Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP) di Pekalongan.

Awal Desember 2022 ini, tanggal 5-7, ia juga mengatakan akan mengisi pelatihan bagi kalangan disabilitas di Rembang.

Pelatihan ini merupakan program dari pemerintah daerah.

Di tengah kesibukan tersebut, Saras justru saat ini menyempatkan diri untuk menempuh pendidikan di bangku kuliah.

Ia mengambil jurusan Ekonomi Syariah di Universitas Terbuka.

“Saat ini saya sudah semester lima. Kuliahnya di pondok pesantren Lasem. Kalau ditanya apa tujuannya, saya juga tidak punya gambaran ijazah akan saya pakai untuk apa. Tapi saya niati ngaji. Bismillah, saya niati mengaji ekonomi syariah. Apalagi tempat belajarnya di pondok. Saya yakin, sesuatu yang saya tempuh dengan susah-payah tidak akan sia-sia. Pasti ada manfaatnya,” tegas dia.

Anak-Anak jadi Motivasi dan Misi Utama

Saras menambahkan, dalam semua aktivitas yang ia lakoni saat ini.

Kedua putrinya, yakni Marlen Kharisma (15) dan Attarishah Maryam (6) menjadi penyemangat utama.

Marlen saat ini bersekolah di MTsN 1 Rembang sembari mondok di Lasem.

Adapun Attarishah masih duduk di bangku MI di Desa Mlagen, Pamotan.

Termasuk saat memutuskan untuk berkuliah, Saras menjadikan kedua anaknya itu sebagai motivasi utama.

“Mereka dulu dirundung teman-temannya karena punya ibu disabilitas. Sampai pernah malu berangkat sekolah. Saya tidak mungkin datang ke sekolah bawa bendo (parang) untuk melarang orang-orang merundung anak saya. Karena itu saya mencoba berbuat sesuatu. Termasuk kuliah meskipun usia saya sudah tidak muda. Tujuannya supaya anak-anak saya melihat, ibunya ini meski kondisi serba terbatas tetap giat belajar dan mencukupi kebutuhan mereka,” ungkap Saras.

Ia berharap, kedua anaknya itu nantinya bisa tertular semangat belajar dan semangat berjuang darinya. 

Tentang semangat berjuang, ada kisah kecil yang menarik dari Saras. Untuk menunjang proses perkuliahannya, Saras belajar mengoperasikan laptop dari seorang pegawai dinas sosial Rembang. Ia bahkan sampai menginap di rumah orang itu.

Padahal, jarak rumah saras ke tempat ia belajar mengoperasikan laptop itu tidak dekat, sekira 35 kilometer.

“Saya ingin belajar karena selama ini belum bisa pakai laptop. Saya ingin mengerjakan tugas kuliah dengan lebih baik. Semangat itu juga saya harapkan ada pada anak-anak saya,” tandas dia.

Akhirnya Orang Memandang dengan Dua Mata

Saras bersyukur, orang-orang di kampung halamannya saat ini sudah tidak lagi memandang rendah dirinya.

Bahkan, ia menyebut, sekarang akhirnya ia mendapatkan “pandangan dari dua mata” oleh orang-orang. 

“Kalau dulu, istilah dipandang sebelah mata saja masih terlalu bagus buat saya. Baru sekarang ini saya mendapatkan dua mata mereka,” kata Saras.

Karena jejaringnya yang bagus, Saras kerap dimintai tetangga-tetangganya, bahkan juga pemerintah desa setempat, untuk mendatangkan program bantuan sosial bagi masyarakat yang membutuhkan.

Baca juga: Angkat Potensi Desa di Kabupaten Semarang, Bupati Ngesti Ingin Pengelola BUMDes Lebih Berdaya

“Saya ini oleh masyarakat dipandang bisa mendatangkan bantuan. Saya ini memang jarang di rumah. Tapi kalau pas di rumah, lagi jalan-jalan, sering dimintai tolong untuk mendatangkan program bantuan ke desa saya,” ujar Saras.

Kini, Saras sudah bisa bernapas lega.

Yang ia kejar bukan kekayaan materi, melainkan menebar manfaat bagi orang lain.

Ia ingin menunjukkan bahwa penyandang disabilitas sekalipun bisa membantu sesama.

“Untuk anak-anak saya, karena saya bukan orang kaya, mungkin saya tidak bisa meninggalkan warisan sawah atau rumah megah. Yang saya bisa tinggalkan adalah semangat untuk mereka. Kalau ada orang lain yang juga terinspirasi oleh kisah hidup saya, saya anggap itu bonus,” tandas Saras. (*)

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved