Berita Jepara
Cerita Perajin Mainan Tradisional Anak di Jepara, Tetap Bertahan di Tengah Perubahan Zaman
Desa Karanganyar Jepara memiliki keunikan. Berpenduduk 1.800 jiwa, sekira 80 persen warganya berprofesi sebagai perajin mainan anak-anak.
Penulis: Muhammad Yunan Setiawan | Editor: Moch Anhar
TRIBUNMURIA.COM, JEPARA - Sekira 2007, sebuah studio radio di Jepara, Sumarno mendapat pertanyaan dari penyiar, "Apakah mainan tradisional anak-anak ini tetap laku di tengah anak-anak mulai menggemari permainan dari teknologi?"
Sebagai perajin yang sudah puluhan tahun menjual ribuan mainan anak, Sumarno menjawab bahwa mainan tradisional anak-anak tidak pernah sepi peminatnya.
Menurut pria 52 tahun itu, hal itu karena dua faktor.
Pertama, produk mainan anak asal Desa Karanganyar, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara dipasarkan oleh penjual-penjual yang andal. Kedua, rezeki perajin sudah ada yang atur.
Baca juga: Gelar Musik Akustik di Jalanan, Mahasiswa di Blora Juga Bagikan Takjil untuk Warga
Baca juga: Pelaku Pembakar Anak Istri hingga Tewas di Kudus Belum Ditetapkan Tersangka, Polisi Ungkap Alasannya
Baca juga: Alfamart Gambut Kalsel Tiba-tiba Roboh, Saksi Dengar Dentuman Keras, 1 Korban Dipastikan Tewas
Jadi tidak perlu cemas bakal tidak laku karena Tuhan sudah mengatur rezeki penjual mainan.
Dia menjabarkan Desa Karanganyar memang memiliki keunikan dibanding desa lain. Berpenduduk 1.800 jiwa, sekira 80 persen warganya berprofesi sebagai perajin mainan anak.
Tidak heran pada 2010 Bupati Jepara saat itu, Hendro Martono menetapkan desa itu sebagai sentra industri mainan anak.
Sumarno mengungkapkan, industri mainan anak tradisional di Desa Karanganyar sudah berjalan puluhan tahun.
Itu dimulai sekira 1975. Mulanya beberapa warga Desa Karanganyar menjual mainan anak kitiran di Taman Sriwedari, Kota Solo.
Kemudian penjual itu mengembangkan produksi mainan anak itu di rumah untuk dijual ke luar kota.
Tidak tanggung-tanggung, beberapa warga bahkan nekat menyeberang ke pulau-pulau besar di Indonesia untuk berjualan mainan anak.
Mereka tinggal di kota-kota besar luar Pulau Jawa untuk mengais rezeki dari bedagang mainan itu.
Bahkan sebagian sampai ada yang menjual mainan di Malaysia.
Hal itu juga pernah dialami Sumarno saat muda.
Ia merantau ke daerah timur dan barat Pulau Jawa. Ia berpindah-pindah kota mulai dari Probolinggo, Ponorogo, hingga Serang.
Selama tujuh tahun (1985-1992), ia meninggalkan kampung halaman memasarkan mainan anak di kota orang.
"Kalau pagi saya jualan di pasar. Kalau siang sampai sore keliling kampung," kata Sumarno menceritakan pengalamannya saat merantau kepada Tribun Muria, Senin (18/4/2022).
Pria yang sejak 1982 membuat mainan anak jenis kitiran ini menceritakan, seiring perkembangan zaman, pemasaran mainan anak tradisional merambah pasar daring.
Beberapa anak muda kini menjual jenis-jenis mainan anak seperti tarikan, kitiran, dan klothokan atau dorongan di lokapasar dan di media sosial.
Ia sendiri saat ini hanya menjual sesuai dengan permintaan.
Setiap bulan ia mengirimkan ribuan kitiran ke Medan, Pekanbaru, Batam, Timika. Bahkan ia sempat dua kali mendapat pesanan dari Pulau Buru.
Ia tidak mau merinci harga jual mainan anak. Pasalnya, ia menjualnya kepada pengepul.
Ia hanya memberi gambaran setiap satu mainan anak bisa mendapat untung Rp200-400.
"Dalam sebulan kira-kira saya dapat Rp2,5-3 juta," ujar pria yang juga Ketua Kelompok Perajin Mainan Anak Mekar Jaya.
Sumarno mengaku keuntungan dari menjual mainan anak ini memang tidak banyak.
Karena harga jual di pasar juga sangat terjangkau masyarakat.
Selain itu, bahan-bahan mainan anak juga dari bahan-bahan olahan, seperti olahan bekas seng, kardus rokok.
Untuk kitiran, dua bahan yang dibeli dalam kondisi baru hanya karet dan bambu.
Semua bahan-bahan itu dibeli dari beberapa kota.
Seng dari Sidoarjo, karet dari Medan, kardus rokok dari Kudus, bambu dari Jepara atau Magelang.
"Kami jaga kualitas. Tidak mau sembarang pilih bahan," ungkapnya.
Jaga kualitas, kata Sumarno, yang membuat pelanggan tetap awet.
Dia menyebut salah seorang pelanggannya asal Sumatera Utara sudah belasan tahun memesan mainan anak kepadanya.
Hal yang sama juga disampaikan Musafak.
Perajin mainan anak klothokan atau dorongan ini menyampaikan, beberapa baham pembuatan mainan seperti spon dibeli dari Tangerang.
Pria 58 tahun itu mengungkapkan, sejak puluhan tahun menekuni bisnis mainan tradisional, pemesanan masih lancar.
Tidak ada tanda-tanda penjualan mainan tradisional lesu karena sudah tidak diminati anak-anak.
"Masih lancar-lancar saja. Masih sering kirim ke Sulawesi (Makassar dan daerah laiinya)," kata pria yang jadi perajin mainan sejak 1985 itu.
Baca juga: Dishub Demak Stop Pungutan Ongkos Parkir dari Jukir Ilegal di Pasar Mranggen
Baca juga: Mantan Kades di Pati Tega Bacok Mantan Istrinya karena Ajakan Rujuk Ditolak
Baca juga: LKS Tripartit Mulai Pantau Penyaluran THR di Kudus, Rini: Belum Ada Perusahaan Lapor Tak Sanggup
Ia tidak bisa merinci dalam sebulan berapa jumlah mainan yang dikirim ke pemesan.
Namun yang pasti, ia mengungkapkan setiap bulan pasti mengirim pesanan ke alamat pelanggan.
Menurutnya, rutinitas itu telah ia jalani sejak bujang hingga kini menjadi seorang bapak.
Ia menegaskan industri mainan anak di desanya masih bertahan di tengah perubahan zaman. (*)