Berita Semarang
Bermula dari Kebiasaan Kiai Kertoboso Bustam, Tradisi Gebyuran Kampung Bustaman Dilestarikan
Tradisi gebyuran di Kampung Bustaman Kota Semarang ternyata memiliki makna tersendiri bagi masyarakat.
Penulis: Budi Susanto | Editor: Moch Anhar
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Tradisi gebyuran di Kampung Bustaman Kota Semarang ternyata memiliki makna tersendiri bagi masyarakat.
Meski di tangah majunya teknologi, tradisi gebyuran tersebut masih terjaga dan lestari.
Bahkan setiap tahun menjelang bulan Ramadhan, gebyuran masih dilaksanakan masyarakat.
Tradisi jelang Ramadan di Kampung Bustaman tersebut juga sudah berjalan bertahun-tahun silam.
Meski awalnya hanya menjadi agenda tahunan biasa bagi warga, namun sejak 2013, tradisi tersebut jadi agenda dan magnet bagi wisatawan.
Baca juga: Wisata Edukasi Baru di Batang, Trip ke Kebun dan Belajar Budidaya Kopi
Baca juga: Unik, Warung Jegangan Sajikan Aneka Masakan Khas Banyumas di Atas Wajan Mini
Baca juga: Antisipasi Pemilu 2024, PW Ansor Jateng Minta Jabatan Ketum Gus Yaqut Diperpanjang hingga 2024
Pasalnya, warga Kampung Bustaman bersama Kolektif Hysteria, yaitu organisasi seni bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas di Kota Semarang, berusaha mengembangkan tradisi tersebut untuk menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Bahkan pada pelaksanaan tradisi gebyuran, Minggu (27/3) sore, wisatawan dari berbagai daerah menyempatkan diri untuk mengikuti prosesi tersebut.
Tak hanya para pelancong, Wali Kota Kendari H Sulkarnain juga menghadiri acara yang digelar di Kampung Bustaman tersebut.
Dijelaskan Akhmad Khoirudin dari Hysteria, tradisi gebyuran dipercaya warga sebagai kebiasaan lama leluhur Bustman yaitu Kyai Kertoboso Bustam.
"Tradisi tersebut dipercaya warga sebagai cara Kyai Kertoboso Bustam untuk memandikan cucunya menjelang Ramadhan," paparnya, Minggu (27/3/2022) petang.
Dilanjutkannya, saat ini tradisi di Kampung Bustaman menjadi sorotan, dan banyak pihak yang berupaya menjadikan tradisi tersebut menjadi festival kolosal di Semarang.
"Menurut kami kalau ditarik keluar dari kampung keotentikannya akan hilang. Jadi biarlah Bustaman tetap seperti itu, hanya saja tata acaranya bisa dipercanggih," katanya.
Dikatakannya, jika ada yang bisa dipelajari dari tradisi di Bustaman justru metodenya.
"Mengapa tradisi di Bustaman bisa menjadi sedemikian rupa dan disokong sepenuhnya warga yang sebelumnya tidak punya tradisi. Nah dari sana kami bisa belajar dan melipatgandakan kegiatan serupa, agar Bustaman-Bustaman lain, tidak dalam konteks gebyuran tetapi peristiwa lainnya bisa digelar," ucapnya.
Baca juga: Kemeriahan Tradisi Gebyuran di Kampung Bustaman Semarang, Ratusan Warga Saling Lempar Bungkusan Air
Baca juga: Soroti Dampak Buruk-Baik Jalan Tol Semarang-Demak, DPRD Minta Pemerintah Punya Rencana Jelas
Baca juga: Pascacedera, Striker PSIS Semarang Berharap Bisa Tampil Melawan Persela Lamongan
Adapun Plt Kepala Disbudpar Kota Semarang, Sapto Adi Sugihartono, yang menghadirkan acara menyebutkan, tradisi gebyuran di Kampung Bustaman menjadi daya tarik bagi wisatawan.
"Kami berharap tradisi di Kampung Bustaman tetap terjaga, dan dilaksanakan setiap tahunnya. Pemkot Semarang juga mendukung dan merasa bangga adanya tradisi di Kampung Bustaman," tambahnya. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/muria/foto/bank/originals/Kampung-Bustaman-273-2.jpg)