TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Hati Andi Prabowo (44) serasa tercabik-cabik. Anak yang disayangi dan dibanggakannya mati ditembak polisi. "Sudah meninggal, malah difitnah," katanya.
Ayah Kandung Gamma atau GRO (17) Andi Prabowo (44) mengaku, sempat kebingungan mencari anaknya pada malam nahs: anaknya tewas ditembus timah panas petugas.
Dia mencari anaknya, Gamma, karena tak kunjung pulang pada Minggu (24/11/2024) tengah malam.
Baca juga: Siapa Sosok Wartawan Datang bersama Polisi Intervensi Keluarga Gamma Korban Tembak Mati Aparat?
Baca juga: Keluarga Gamma Punya Bukti Video, Patahkan Tudingan Polisi Bubarkan Tawuran: Tak Ada Penyerangan
Baca juga: Keluarga Gamma Yakin Tudingan Gengster Hanya Rekayasa Polisi, Duga Saksi Kunci Ikut Diintervensi
Dia mencari dari tengah malam sampai pagi hari, tetapi Gamma, anggota pasukan pengibar bendera (paskibra) pelajar SMK 4 Semarang, tidak kunjung ditemukan.
"Saya cari Gamma sendirian sambil waswas takut terjadi sesuatu terhadap Gamma," katanya saat diwawancarai Tribunmuria.com di Gajahmungkur, Kota Semarang, Selasa (3/11/2024).
Menurutnya, Gamma berpamitan ke keluarga hendak latihan silat di lingkungan kampus Widya Husada, Krapyak, Semarang Barat, Sabtu (23/11/2024).
Namun, pada pukul 22.00, Gamma tak kunjung pulang sehingga nenek dan kakaknya terus menelpon tetapi tak kunjung direspon.
Andi lantas mencari Gamma ke tempat latihan tetapi sudah sepi. Dia juga sempat ke rumah SA sahabat dari Gamma tetapi tidak ketemu.
Ayah korban lalu menelusuri sejumlah ruas jalan di Jrakah, Krapyak, Hanoman, dan jalur arah pulang tetapi tak menemukan jejak Gamma.
"Saya cari sambil telepon sampai puluhan kali. Handphone aktif tapi tidak diangkat," bebernya.
Dia pun syok ketika mendengar kabar bahwa Gamma sudah meninggal dunia di rumah sakit.
Kabar pertama kali yang keluarga peroleh adalah Gamma meninggal dunia karena tawuran bukan ditembak polisi.
"Saya sangat sakit hati dan terpukul. Anak sudah meninggal dunia malah difitnah," ungkapnya.
Gamma yang disebut polisi sebagai pelaku tawuran dan anggota gangster dibantah oleh Andi.
Dia menyebut, sangat memahami kepribadian Gamma.
"Saya tidak percaya disebut pelaku (tawuran dan anggota) gangster. Saya tahu kepribadian anak saya," ujarnya.
Buruh sopir forklift di Pelabuhan Tanjung Emas ini berharap, kasus pembunuhan anaknya dibuka secara terang benderang.
"Kasus ini jangan ditutupi, jangan direkayasa," katanya.
Diberitakan sebelumnya, anggota Satresnakorba Polda Jateng Aipda Robig menembak sampai tewas pelajar SMK N 4 Semarang GRO (17).
Dua korban lainnya yakni AD (17) dan SA (16) alami luka tembak di tangan dan dada. Mereka berdua selamat.
Peristiwa ini terjadi di depan Alfamart Jalan Candi Penataran Raya, Ngaliyan, Kota Semarang, Minggu (24/11/2024) pukul 00.19 WIB.
Keluarga: cerita gengster rekayas polisi
Sebelumnya, keluarga Gamma Rizkynata Oktafandy atau GRO (17) -siswa SMK 4 Semarang yang ditembak mati polisi- meyakini narasi korban adalah anggota gengster adalah rekayasa aparat belaka.
Tak hanya itu, keluarga korban juga meragukan pernyataan polisi yang menyebut korban ditembak mati karena melakukan penyerangan ke polisi menggunakan senjata tajam.
Keraguan keluarga itu berdasarkan rekaman video penembakan berdurasi 41 detik yang berhasil dikantongi keluarga korban.
Dalam rekaman video tersebut, keluarga sama sekali tak melihat adanya korban menyerang Aipda Robig Zaenudin (38) anggota Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang.
"Maka dari itu, yang paling utama adalah pengembalian nama baik Gamma. Kedua, proses pidana pelaku penembakan dengan hukuman pidana sesuai perbuatannya," kata seorang keluarga korban GRO yang enggan disebutkan identitasnya dengan alasan demi keselamatannya di Kota Semarang, Minggu (1/12/2024).
Keluarga korban mengaku, selama proses hukum ini, polisi hanya menunjukan barang bukti berupa senjata tajam untuk tawuran.
Alat-alat tersebut, kata dia, bisa diambil dari mana saja. Tudingan soal korban membeli senjata tajam, keluarga meminta polisi membuktikannya.
"Terus pelaku-pelaku tawuran (ada 4 orang) kan bisa diambilkan dari beberapa anak-anak yang wajib lapor," terangnya.
Dengan keyakinan ini, keluarga korban telah mengumpulkan sejumlah alat bukti versi mereka untuk membantah tudingan dari Kapolrestabes Semarang.
Tudingan tersebut yakni korban adalah anggota gangster yang layak ditembak polisi karena menyerang terlebih dahulu.
"Beberapa bukti dari keluarga tetap kami serahkan ke Polda Jateng," imbuh perwakilan keluarga GRO itu.
Keluarga yakin saksi kunci turut diintervensi
Keluarga Gamma pelajar juga menyakini dua saksi kunci kejadian penembakan ikut mengalami intervensi.
Terlebih, selepas kejadian tersebut, keluarga Gamma didatangi polisi bersama oknum wartawan, yang coba hendak membungkam keluarga.
Keyakinan keluarga GRO perihal saksi kunci ini bermula ketika hendak melakukan konfirmasi atas kejadian yang sebenarnya kepada dua korban penembakan lainnya masing-masing AD (17) dan SA (16) yang alami luka tembak di tangan dan dada.
Mereka berdua selamat dari timah panas yang diletuskan Aipda Robig Zaenudin (38) anggota Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polrestabes Semarang di depan Alfamart Candi Penataran Raya, Ngaliyan, Kota Semarang, Minggu (24/11/2024) pukul 00.19 WIB.
Dua orang inilah yang menjadi saksi utama dalam kejadian tersebut.
"Iya, kami sampai sekarang tidak bisa bertemu dengan dua korban lainnya," kata keluarga GRO yang meminta identitasnya disembunyikan dengan alasan keamanan di Kota Semarang, Minggu (1/12/2024).
Keluarga korban ini menyebut, telah mendatangi rumah koban SA berulang kali tetapi tidak ditemui.
Padahal mereka adalah sama-sama korban. Ketika mendatangi rumah SA, dia menjumpai dua orang yang mengaku aparat dari Komando Distrik Militer (Kodim) setempat, Senin (25/11/2024) sore.
Namun, dia melakukan konfirmasi hal itu ke Kodim tersebut ternyata tidak ada personel yang diterjunkan untuk mengawasi kasus ini.
"Menurut saya korban ini (diduga) sudah di intervensi dari aparat (kepolisian)," bebernya.
Saksi kunci lainnya yakni AD, lanjut dia, sudah berusaha mati-matian menghubungi AD di antaranya melalui teman-teman AD tetapi semua memilih bungkam.
"Teman-teman AD juga tidak boleh memberikan informasi ke mana-mana atau ke orang lain berarti kan sudah ada intervensi lagi," terangnya.
Sebelumnya, Tribunmuria.com mendatangi rumah dua korban selamat masing-masing AD (17) dan SA (16).
SA tinggal di Jrakah, Kecamatan Tugu bersama kedua orangtuanya. Keluarga SA enggan menemui. Alasan keluarga, SA masih trauma berat soal kasus ini.
"SA ini jarang keluar malam. Makanya kami kaget dengan adanya kasus ini," kata ketua RT 4 RW 2 kelurahan Tugu, Aris Widarto.
Tribun kemudian mendatangi rumah AD di wilayah Jalan Karonsih Timur Raya, Ngaliyan.
Tribunmuria.com sempat bertemu AD dalam proses pra rekontruksi, Selasa (26/11/2024) pagi.
Siang harinya, AD ternyata belum di rumah. Dia masih di kantor polisi.
Ketika menyambangi rumah AD, nenek korban menolak diwawancarai. Para tetangga menyebut, AD tinggal di Semarang bersama neneknya. Sedangkan orangtuanya di Magelang.
"AD ini anak baik. Jadi kami kaget adanya kejadian ini," tutur Ketua RT 6 RW 5 Ngaliyan, M Wakimin.
Tertutupnya para keluarga korban membuat sejumlah pihak kesulitan untuk memberikan bantuan hukum.
"Kami mau membantu tapi para keluarga korban belum membuka diri," kata Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Penyambung Titipan Rakyat (LBH Petir) Jawa Tengah Zainal Abidin.
Dia mengaku, kasus ini seperti ditutup-tutupi.
"Saya punya penilaian seperti itu (terkesan menutupi) padahal saya hanya mau melakukan pendampingan dan investigasi supaya kasus ini terang," ujarnya.
Pernyataan Zainal dibantah Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Artanto.
"Kami transparan, (buktinya) pra rekontruksi kami membawa media meliput. Sama Komnas HAM juga terbuka," klaimnya. (iwn)