Jairi menjelaskan bahwa ia dan keempat rekannya, yang juga kader PDIP dari Jakarta Barat, awalnya hanya diminta menandatangani selembar kertas kosong oleh seseorang bernama Anggiat BM Manalu.
Orang tersebut mengeklaim bahwa tanda tangan tersebut akan digunakan sebagai dukungan terhadap demokrasi.
Setelah menandatangani kertas kosong tersebut, mereka diberi imbalan uang sebesar Rp300.000.
“Jadi kertas kosong itu kami tanda tangani. Tidak ada arahan atau penjelasan kepada kami."
"Cuma diminta tanda tangan saja. Alasan yang diberikan dari pihak mereka katanya itu untuk dukungan demokrasi,” kata Jairi.
Jairi menegaskan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa tanda tangan tersebut ternyata digunakan sebagai kuasa untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
Atas dasar itu, Jairi dan empat rekannya telah menyusun surat pencabutan kuasa dan berencana mencabut gugatan yang telah diajukan.
“Makanya malam ini kita buat surat pencabutan gugatan yang mengatasnamakan kami. Kami tidak memberikan kuasa kepada siapa pun, termasuk ke Anggiat BM Manalu,” pungkas Jairi.
Diketahui, gugatan SK perpanjangan kepengurusan PDI-P yang diterbitkan Kemenkumham tercatat di PTUN Jakarta dengan nomor 311/G/2024/PTUN.JKT.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, gugatan itu didaftarkan hari ini dengan klasifikasi perkara Badan Hukum.
Dalam situs resmi itu disebutkan, penggugat terdiri dari lima orang, yakni Djupri, Jairi, Manto. Suwari, dan Sujoko dengan pihak tergugat Kementerian Hukum dan HAM. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Tanda Tangan 5 Kadernya Dicatut untuk Gugat SK Kepengurusan, PDI-P Bakal Tempuh Jalur Hukum