Karena, itu akan menjadi modal untuk bisa digunakan dalam menambah kekuatan parpol.
Tetapi patut diakui untuk menguasai Jateng bukan persoalan mudah.
"Dengan jumlah 35 kabupaten/kota yang ada di Jateng tentu harus memiliki manajerial yang bagus."
"Karena berbeda dengan DKI Jakarta misalnya, Gubernur lebih mudah mengatur karena hanya wilayah kota saja dan Gubernur yang menentukan."
"Kalau di Jateng, semua kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat," tambahnya.
Wahid mengakui, elektabiltas Gerindra sangat diuntungkan tahun ini. Majunya Prabowo di Pilpres dengan koalisi besarnya berdampak besar dan merubah peta politik di Indonesia.
Jika koalisi ini terus bertahan di Pilgub, tentu langkah terbuka untuk menguasai Jateng.
Tetapi menurut Wahid, butuh kerja keras dan cerdas, karena harus bisa menyaingi atau bahkan harus menumbangkan dominasi PDIP.
"Kalau Gerindra serius mengusung Sudaryono maka harus bergerak cepat. Tingkatkan popularitas dan gagasan untuk menyelesaikan berbagai masalah di Jateng," ujarnya.
Di sisi lain ia menjelaskan, karakter masyarakat Jawa Tengah yang nasionalis relegius juga harus diperhatikan.
Pilgub 2018 menjadi bukti, koalisi itulah yang diminati masyarakat.
Tokoh-tokoh yang mau bertarung di Pilgub harus mulai bergerak. Turun ke bawah, dan tawarkan solusi untuk masyatakat.
Sebab, kemiskinan, sulitnya lapangan pekerjaan, dan berbagai masalah yang dihadapi petani serta nelayan merupakan salah satu persoalan yang harus dicarikan solusi konkretnya.
"Tapi tetap harus memaksimalkan mesin partai agar lebih kuat. Dan di Jateng peluang terbuka lebar, apalagi tidak ada incumbent," tambahnya.
Sudaryono merupakan tokoh muda dan pendatang baru di Jawa Tengah. Tetapi ia memiliki kekuatan sumber daya kuat, apalagi orang kepercayaan Prabowo. Tentu ada pertimbangan matang ketika dipilih untuk memimpin Gerindra Jateng.