TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Beda nasib antara dua kasus yang melibatkan polisi di tubuh Polda Jateng.
Dua kasus itu yakni kasus seorang anggota Samapta Polres Pekalongan Kota berinisial A melakukan Video Call Sex (VCS) dengan masih berseragam polisi viral di media sosial.
Ia dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH selepas sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
Baca juga: Perintah Kapolri Terkait Kasus 5 Polisi Jadi Calo Penerimaan Bintara di Jateng: PTDH Atau Pidana
Kasus tersebut terjadi pada awal Juni 2022.
Sebaliknya, kasus suap penerimaan Bintara Polri tahun 2022 yang melibatkan tujuh anggota polisi tak sampai dipecat.
Kasus tersebut terjadi rentang bulan Juni-Juli 2022 , artinya dua kasus itu tidak berselang lama.
Hukuman bagi tujuh anggota polisi yang terlibat suap berkutat pada demosi, penurunan pangkat, dan penahanan anggota melalui penempatan khusus (patsus).
Menanggapi hal itu, Peneliti Pusat Kajian Militer dan Kepolisian (Puskampol) Andy Suryadi mengatakan, putusan hukuman yang diterima oleh para anggota yang terlibat kasus suap penerimaan Bintara Polri 2022 memang menjadi tanda tanya.
Ia menilai, hukuman semestinya bisa lebih berat dari putusan dalam sidang internal tersebut.
"Kalau kasus tersebut (VCS) bisa setegas itu, seharusnya di kasus suap harus lebih tegas apalagi melibatkan secara komunal dan menjadi sorotan masyarakat," katanya kepada Tribun, Sabtu (18/3/2023).
Kasus suap Bintara polri, Andy melanjutkan, seharusnya kasus dibawa ke ranah pidana karena berkaitan dengan suap-menyuap alias melakukan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
"Sidang disiplin seharusnya lebih berat dibandingkan dengan kasus VCS Pekalongan kota karena kasus suap Bintara Polri lebih mencoreng," bebernya.
Hukuman kepada tujuh anggota tersebut dinilai mencoreng sekaligus meluluh lantakkan upaya polri dalam membangun citra rekrutmen anggota yang bebas dari suap.
Ia mengatakan, polisi telah mati-matian melakukan promosi baik di media sosial maupun papan pengumuman konvensional yang dipasang di seluruh wilayah Indonesia.
Sayangnya, ulah tujuh anggota tersebut membuat masyarakat kian tidak percaya.
"Ketika ada oknum mencoreng itu mestinya dianggap sebagai halangan besar karena bagian dari merusak kampanye yang sudah dilakukan di seluruh Indonesia," jelasnya.
Ia melanjutkannya, hukuman kasus suap melibatkan anggota polri sudah sepatutnya diganjar berat.
Sebab sejauh ini salah satu titik ketidakpercayaan publik terhadap institusi Bhayangkara yakni proses rekrutmen yang digembor-gemborkan gratis.
"Masukan ke polri, upayakan mengimbangi kampanye masuk polisi gratis dengan aplikasi di lapangan," ujarnya.
Pun, rekrutmen polisi salah satu pintu pembentukan polisi yang baik di masa datang.
Jika cara masuknya saja sudah melanggar hukum nantinya perjalanan mereka di kepolisian juga rawan penyelewengan.
"Nantinya hal itu menjadi beban baru di kepolisian," tuturnya.
Di samping itu, ia tidak menampik masih ada proses rekrutmen polisi yang benar-benar bersih tidak melakukan penyuapan. Hal itu sudah banyak dibuktikan.
Namun, anggapan masyarakat terhadap hal itu sudah sangat melekat atau polisi belum sepenuhnya bersih soal penerimaan anggota.
"Seharusnya panitia seleksi yang terlibat dipastikan orang yang memiliki kredibilitas," paparnya.
Kendati begitu, pihaknya mengapresiasi Polda Jateng yang berani mengungkap kasus tersebut ke publik.
Artinya ada upaya pengawasan, penindakan, dan penegakan aturan yang memadai meskipun di tahap proses hukumannya masih menjadi tanda tanya sekaligus menyisakan kekecewaan bagi masyarakat.
"Statement Kapolda sebenarnya keras tapi kenapa hukuman hanya di titik itu," terangnya.
Terpisah, Kabidbumas Polda Jateng, Kombes Iqbal Alqudusy, mengatakan, lima personel yakni Kompol AR, Kompol KN, AKP CS, Bripka Z, dan Brigadir EW terbukti melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian (KEPP).
Mereka mendapatkan sanksi mutasi bersifat demosi selama 2 tahun.
"Adapula patsus selama 30 hari dan 21 hari," katanya.
Berikutnya dua personel ASN terbukti melanggar disiplin dan sudah disidang oleh atasan yang berhak menghukum (Ankum) masing masing.
Sanksi kepada dua ASN tersebut berupa turun pangkat setingkat lebih rendah selama 12 bulan.
"Ditambah pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25 persen selama 12 bulan," terang Iqbal.
Barang bukti hasil OTT tersebut kemudian sudah dikembalikan kepada pemberi.
Pengembalian dilakukan oleh Paminal Mabes Polri.
Jumlah korban yang disasar berjumlah belasan, ia membantah jika korban mencapai 90an orang.
"Uang ott dikembalikan yang berhak, jumlah variasi ada Rp350 juta, Rp750 juta," terangnya.
Menurut Iqbal, ketujuh polisi tersebut bergerak secara mandiri dan tidak terorganisir.
Di antara meraka termasuk ke dalam panitia rekrutmen Bintara.
"Mereka dalam kepanitiaan, tapi tidak semua, siapa panitianya anda sudah tahu sendiri," bebernya.
Pihaknya kini memperketat fungsi satuan-satuan pengawasan sebagai upaya mencegah kejadian tersebut terulang.
Iqbal mengklaim, sebenarnya fungsi-fungsi tersebut sudah berjalan dengan terungkapnya kasus tersebut.
"Kapolda menegaskan tetap mempertahankan dan melaksanakan prinsip Bersih, Transparan, Akuntabel, dan Humanis (BETAH), dalam rekrutmen polri," katanya. (Iwn)