Galih Pujo Asmoro: Mereka Untung dari Subsidi
Galih Pujo Asmoro menulis tajuk tentang pentingnya subsidi elpiji bagi pedagang kelas rumahan dan UMKM.
"Tidak sedikit pedagang kuliner, pedagang kecil lainnya, serta UMKM yang mendapat keuntungan karena subsidi." Demikian perkataan seorang teman ketika kami guyon di tempat ngopi beberapa waktu lalu.
Pernyataan itu sangat masuk akal. Terlebih saat ini, di mana harga elipiji nonsubsidi di kisaran Rp 20 ribu per kilogram. Sedangkan harga elpiji subsidi alias eliji melon atau elpiji 3 kilogram, hanya Rp 18 ribu. Artinya per kilogram cuma Rp 6 ribu.
Bila saja ada pedagang penyetan misalnya yang semalam menghabiskan dua tabung elpiji 3 kilogram, dia hanya cukup mengeluarkan uang Rp 36 ribu. Bandingkan bila ia suatu hari ia harus beli bright gas ukuran 5,5 Kg yang saat ini dipatok Rp 110.000. Sama saja, keuntungannya berkurang Rp 74 ribu.
Itu baru dari subsidi elpiji. Belum lagi subsidi bahan bakar minyak yang digunakannya saat wira-wiri kulakan, dan mungkin juga subsidi di rumahnya. Dan bukan tidak mungkin, hal serupa juga terjadi di banyak kalangan rumah tangga Indonesia pada umumnya.
Bila mereka sampai menggunakan elpiji atau BBM nonsubsidi, biaya produksi jelas akan membengkak berkali lipat. Di sisi lain, mereka juga akan berpikir ulang untuk menaikan harga dagangannya. Akhirnya seperti simalakama. Menaikan harga jual konsumen lari, tak kerek harga jual akan merugi. Itu baru satu sektor di sebagian pedagang kuliner. Belum ke yang lain.
Perkara subsidi energi di Indonesia adalah persoalan klasik yang sepertinya masih lama terselesaikan. Di satu sisi, subsidi energi boleh dibilang sangat membenani APBN. Namun bila dikurangi, tentu dampaknya akan sangat panjang.
Ke depan, mungkin saja listrik akan jadi pilihan. Bukan tidak mungkin di masa depan, sebagian besar rumah tangga di Indonesia akan menggunakan kompor induksi untuk keperluan sehari-hari. Bisa juga pada pedagang kuliner, UMKM, dan lain sebagainya. Hingga akhirnya, keberadaan kompor elpiji hanya sebagai cadangan bila tiba-tiba ada pemadaman.
Dengan semangat pengurangan emisi karbon, kompor induksi dan kompor listrik atau segala sesuatu yang berbau EBT, akan jadi primadona. Kalaupun tidak jadi primadona, minimal terpaksa harus menjadikannya primadona. Syaratnya, energi pembangkitnya tidak dari fosil semisal batu bara maupun solar. Selain itu, tarif dasar listrik yang dipatok pemerintah melalui PLN juga harus terjangkau.
Secara alamiah, hal yang bisa mendorong manusia mau berubah, misalnya dalam energi, adalah harga yang lebih terjangkau, kepraktisan, lalu terakhir "dipaksa". Bila ternyata dalam penggunaan terus menerus, kompor elpiji jauh lebih murah, mungkin pemerintah harus mengeluarkan jurus "paksaan". Namun bila kompor induksi lebih praktis, murah, aman, dan efesien, rasanya tinggal digecarkan saja sosialiasinya menyasar pengguna elpiji nonsubsidi terlebihdahulu untuk beralih.
Apalagi bila dibandingkan dengan elpiji subsidi bisa bersaing atau pemerintah sama-sama mau memberikan subsidi pada pengguna induksi seperti halnya pada elpiji melon, tanpa perlu “dipaksa” pun, secara alamiah masyarakat akan berpindah.
Namun apapun alasannya, sepertinya pemerintah harus mulai melakukan migrasi dari energi fosil ke sesuatu yang lebih “green”. Perang Rusia – Ukraina yang bikin harga minyak dunia melambung sehingga berdampak pada bengkaknya subsidi energi, hanya satu di antara sekian banyak pertimbangan.
Ada alasan yang jauh lebih besar dari itu, yakni penyelamatan Bumi dari global warming dan segala dampaknya. Gelombang panas di Eropa yang saat ini sedang terjadi adalah dampak nyata pemanasan global. Jadi, penggunaan energi masa depan khususnya rumah tangga Indonesia secara masif, sebaiknya jangan ditunda-tunda.
Galih Pujo Asmoro
Wartawan Tribun Jateng
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/muria/foto/bank/originals/Galih-Pujo-Asmoro.jpg)