Berita Jateng
Soroti Kasus Pengeroyokan Siswi SMP, Dekan FIP Unnes Nilai Lemahnya Empati Anak
Kasus perundungan yang direkam dan diunggah ke media sosial hampir selalu terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Penulis: Amanda Rizqyana | Editor: Moch Anhar
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kasus perundungan yang direkam dan diunggah ke sosial media hampir selalu terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Yang terbaru, kasus perundungan dengan kekerasan yang dilakukan oleh siswi berseragam putih-biru dilakukan di Aloon-Aloon Johar Kota Semarang menjadi viral di sosial media.
Sejumlah siswi melakukan kekerasan pada orang siswi hingga mengakibatkan luka.
Reaksi muncul dari masyarakat maupun warganet atas kejadian tersebut berupa kecaman.
Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Semarang, Dr Edy Purwanto MSi, menyatakan akar dari perilaku perundungan ialah lemahnya empati.
Baca juga: Lulus Ikuti Ujian, 396 Guru Pengajar Alquran di Kendal Diwisuda
Baca juga: Kata Psikolog Ihwal Pengeroyokan Siswa SMP di Alun-alun Kauman Semarang: Hukum Harus Ditegakkan
Empati merupakan keadaan mental di mana seseorang memiliki perasaan, pikiran, dan keadaan yang sama dengan orang lain.
Ia menyatakan hasil riset menunjukkan bahwa pada saat dilahirkan ke dunia, semua anak memiliki kemampuan berempati.
"Pengalaman memperoleh perlakuan tidak empati dari lingkungan anak, juga mengamati model perilaku tidak empati, menjadi sumber bagi melemahnya perilaku berempati," ujarnya pada TribunMuria.com pada Kamis (26/5/2022).
Maka, Dr Edy menyatakan sebagai upaya pencegahan, perlakuan orang tua terhadap anak harus dilandasi empati dan menghindari pemberian perlakuan tidak empati terhadap anak.
Selain itu, empati juga menjadi bagian dari topik perbincangan pada keluarga, misalnya saat makan bersama maupun saat kegiatan santai keluarga.
"Sisipkan pembicaraan atau diskusi tentang perilaku empati antara orang tua dan anak saat momen santai bersama keluarga," ungkap Dr. Edy.
Selain melakukan diskusi dan menghindari perlakuan tidak empati, orang tua juga bisa melibatkan anak dalam kegiatan kepedulian sosial di lingkungan masyarakat.
Terkait penanganan korban perundungan, Dr. Edy menyatakan korban harus mendapat bantuan psikolog atau konselor.
Terkait saksi anak pada kasus perundungan, ia memiliki dua sudut pandang pada saksi yang merekam kejadian dan mengunggah atau menyebarkannya ke sosial media.
Pandangan pertamanya ialah bisa jadi saksi merekam dan mengunggah perilaku kekerasan di media atas kesadaran bahwa tindakan kekerasan tersebut tidak benar.
Saksi bermaksud menginformasikan pada publik atas peristiwa kekerasan dan memberi tindakan pada pelaku.
"Bisa jadi sebaliknya, ia menikmati kekejaman tersebut. Dan jika benar, indikator kuat bahwa saksi bisa saja tidak memiliki empati," tambah Dr Edy.
Ketidakmampuan saksi memiliki empati ketika melihat orang lain tidak berdaya disiksa dan sama sekali tidak merasa iba.
Bisa dikatakan bila perilaku kedua yang menjadi landasan beredarnya video kekerasan tersebut merupakan indikasi saksi bebal empati.
Selain saksi anak, Dr Edy menyatakan reaksi orang tua pada korban anak ialah membantu mengembangkan kebanggaan terhadap diri anak dan secara serius mencari kelebihan pada diri anak dan membincangkannya bersama anak.
Sementara itu, Lestari Moerdijat, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menyatakan kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak merupakan kompleksitas permasalahan dan tantangan generasi muda.
Anak-anak yang merupakan calon pemimpin masa depan harus memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam mencerna informasi dan mengelola teknologi.
"Manusia tidak boleh menjadi objek teknologi, manusia harus menjadi subjek teknologi," tegasnya.
Meski demikian, ia menilai tidak bisa dilakukan pembatasan penggunaan gawai maupun sosial media pada anak karena dunia saat ini sudah tanpa batas.
Menurutnya, bila membatasi pada satu titik, di titik lainnya berpotensi jebol.
Baginya, pembatasan harus dilakukan oleh pihak yang memegang nilai dan aturan di mana anak tersebut tumbuh, yakni orang tua dan masyarakat.
Masyarakat dan orang tua harus memiliki kemampuan untuk terlibat dalam memberikan nilai pada anak.
Bagi sebagian anak, perundungan dianggap keren dan kemudian hal tersebut yang mendasari para pelaku merekam dan mengunggahnya di sosial media.
Lestari menyoroti persepsi yang salah dari perundungan hal yang keren tersebut dibiarkan hidup di masyarakat.
Baca juga: Dorong Pembayaran Nontunai, Trans Semarang Bakal Pasang Tarif Lebih Murah Daripada Tunai
Baca juga: Peternak di Pati Diminta Jaga Kebersihan Sanitasi Kandang, Antisipasi Penyakit Mulut dan Kuku
Untuk itu, tugas dari generasi yang lebih tua, baik orang tua maupun masyarakat untuk mengembangkan pemahaman komprehensif pada anak muda tentang hal yang tidak baik itu bukanlah hal yang keren.
Adanya pemberian sanksi atas perilaku anak yang melewati batasan harus diberikan, baik sanksi sebagai edukasi maupun sanksi atas perbuatan yang memenuhi unsur kriminal agar menjadi efek jera.
"Orang tua harus menjadi benteng dan penyaring bagi anak-anak," tegasnya seusai menghadiri Talkshow Semarang Smart Anak Mudanya, Smart Citynya di Radjawali Semarang Cultural Center.
(*)